Sunday 17 July 2016

Purnama Terakhir

Malam itu, kulihatnya begitu memesona. Ya, sungguh memesona.



pict: documents


"Hoi, Dit. Ngapain lu cemberut haha."  
"..."

   Aku hanya bisa mencibir dalam hati. Semestinya dia paham dengan garitan bibirku yang mungkin memang menjemukan. Itu tentang bagaimana aku merespon sesuatu. Ya, cemberut. Hampir di sebagian hidupku kalian akan melihatku dengan cara itu. Sangat tak patut, memang.  

   
---

   Semestinya aku menikmati atmosfer malam, dengan kebahagiaan yang lepas. Sebelum saat ini, aku telah merencanakan dan membayangkan berbagai hal manis yang semestinya terjadi di malam ini, saat bulan berada di penghujung fasenya, purnama.
   Namun apa daya, tak ada lagi yang bisa diharapkan. Semua telah berubah. Lagipula, tak ada kata selamanya dalam hidup. Mengapa pula aku bersedih? 


"..." 
"Nyariin dia nggak ketemu tuh, Saf" 
"Apaan sih..." 
"Santai kan, Dit" 
"Emang lagu Santai, Fen" 
"Nyanyi lagu pantai, nyanyi lagu santai haha"

   Dan begitulah awalnya,


Cinta yang sebenarnya indah sekali Kadang menipu dan bikin sakit hatiTapi lihatlah burung tetap bernyanyiTerlalu indah untuk ditangisi


          "Cari tempat duduk aja yuk"          "..."

10 menit berlalu

          "..."          "Apaan sih sikut-sikut, Sur"

   Lalu kulihat dirinya, di bawah spotlight yang menjatuhi wajahnya bertubi-tubi. Berjalan, beriringan dengan gejolak lagu yang tengah mengombak di antara riak-riak yang seketika terhenti di tenggorokan. Seketika, tak peduli apapun yang kudengar, aku mengunci tatapanku padanya. Hanya padanya. 


          'Dia begitu memesona malam ini.'      


"...""Dit, lihat tuh, pangeranmu hahahaha""Pangeran katamu, Sur? hahahaha""Pangeran dalam mimpi hahahaha"

   Aku tak peduli.       Emosiku mulai meluap. Apalah yang mereka tahu tentang dirinya. Apalah yang mereka rasakan. Ya. Mereka tak merasakan apa yang kurasa. Ku rasa, aku mendapatkan 'the zing' darinya. 

Zinging in the air and I don’t have a care
I’m winging from the zing that we share
Zinging in the rain
Now I’m feeling no pain


   'Untuk apa emosi? Emosi takkan merubah apapun, bahkan justru menjerumuskan lebih dalam.' 
   Aku mulai mengerang. Masa-masa sulit itu terlintas di depannya. 

          "Aku nggak suka dia. Titik."
             Suasana senyap hadir selama sepersekian detik. Seterusnya, gelak tawa terdengar membahana di telingaku. Alih membalas tawa itu, aku makin terapit. 
   Seketika aku teringat waktu. Aku tahu waktu terus berjalan. Waktuku kini tinggal seperempat waktu dari acara ini. Jika aku tak menangkap satupun dari sisa perjalanan waktu ini, matilah aku.     

          "Bentar ya, aku ke belakang bentar"          "..."

   Aku mulai mencarinya. Sampai seseorang memanggil namaku.

          "Dit"          "..."

   Aku mulai mencari pemilik suara cempreng itu. Tidak, aku tahu siapa yang memanggilku. Aku hanya mencari wujudnya di antara segerombolan orang yang selalu berlalu-lalang di dalam bayangan malam.
   Lalu aku menemukannya. Tak berkata apapun setelah itu, hanya menunjuk-nunjuk bayangan di belakangku. Tepat di belakangku. 
   Aku tak tahu apa yang ditunjuk. Aku tak melihat apapun selain bayangan purnama dan kegelapan malam yang terus mengikutiku. Aku putuskan untuk menghampirinya, dan saat aku hendak melangkahkan kaki ke arahnya, aku baru tersadar. 'Itu Dia'.
   Dia, bukan dia. Dia dari dia, mungkin. Aku tadi tak melihatnya, tubuhnya begitu mungil untuk dilihat. Aku hanya memperhatikan apa yang ia kenakan. Aku hanya bisa membisu.
   'Pakaiannya, sama seperti apa yang dia kenakan.'
   Aku berbalik, ke tempat awalku tadi. Menghentikan apa yang baru akan ku mulai. Aku menyerah.
"Aku baru saja melihat Dia-nya" 
"Lalu bagaimana, Dit?" 
"Entah. Mungkin memang mereka masih sama. Lagipula aku bukan siapa-siapa. Untuk apa aku terus menginginkan orang yang tak menginginkanku." 
"Katamu ini 'For The Last Day Forever'? Kamu nyerah gitu aja?" 
"Untuk apa aku menggantungkan diriku untuknya. Mau kuberi apapun dia, kalau pilihannya tetaplah Dia, aku bisa apa."  
"..."



Mungkin betul inilah akhirnya. Sungguh ironi.


A. Paramudita (Yogyakarta, 2015)

No comments:

Post a Comment