Tuesday 19 July 2016

Hitam Di Atas Putih



Kopi hitam di depanku, kurang hitam untuk menggambarkan suasana hatiku saat ini. Walaupun kebiasaanku mampir di kafe setiap malam Jumat sedikit mengurangi kepenatan hari-hariku, tetap saja tidak bisa merubah air muka yang terlanjur asam. Angin malam mulai menyapa rambutku dengan lembut. Lagu-lagu sendu yang berasal dari speaker kafe, melengkapi aktingku malam ini.

"Aku, keluar malam ini. Titik!" Aku sudah tak dapat membendung kekecewaanku pada Ray, suamiku yang baru sebulan lalu kunikahi. Sudah sering sekali aku diwanti-wanti untuk tidak memburu nikah muda. 'Kurang pengalaman', kata Ibu. Kami bertemu pertama kali di bangku SMA. Lalu menjadi akrab semenjak dia putus dengan pacar pertamanya, Nia. Awalnya dia hanya sering menanyakan sifat wanita padaku, teman sebangkunya. Nia anak kelas XI C, sedangkan aku dan Ray masuk kelas XI A. Ray kelihatan sekali menaruh hati pada Nia, siapa yang tak tahu jika setiap hari Ray berusaha menggoda Nia.

"Anak SMA," batinku. Malam semakin menampakan kesombongannya. Bintang berpendar  yang menggantung di langit Yogyakarta, purnama yang menunjukkan pesonanya, berhasil membuatku menyunggingkan senyum, kecut. Aku tak pernah jatuh cinta dengan keelokan malam, semenjak aku menyadari malam membawa terbang kenanganku dengan Ray, masuk bersama debu knalpot kendaraan yang meraung-raung di jalanan, ke dalam kafe ini. Kafe ini, satu-satunya tempat pemberhentianku ketika sedang kesal. Duduk di pojok ruang berhawa sendu, membuat kesedihanku semakin menusuk.

"Aku kira kamu pelabuhan yang dapat membawaku berjalan-jalan menikmati malam. Seperti dulu. Tapi apa, kamu sudah merusak segalanya Ray. Kenapa kamu harus berbohong? Kukira kamu tahu aku tak suka dibohongi." Isakku tak dapat kubendung lagi. Tumpah ruah membasahi akta nikah yang sedang kugenggam. Bukan milikku, miliknya dengan orang lain.

Bah, memang salahku terlalu memburu menikahinya. Umurku masih 21 tahun.

Astaga! Betapa belianya aku, seharusnya saat ini aku masih belajar banyak hal untuk persiapan kehidupan pernikahanku. Seharusnya saat ini aku dapat membaca banyak jurnal tentang cara mengasuh anak, seharusnya aku masih berkuliah saat ini. Astaga lihat, betapa anak-anak itu baru pulang dari rumah teman mereka untuk mengerjakan essay yang besok sudah harus terkumpul. Selarut ini? Tuhan, betapa aku merindukan dunia kuliahku.

//handphone berdering//

"Astaga, Nia. Pasti Ray telah menghubunginya."

Aku menggerutu. Betapa sahabat yang dahulunya sedekat nadi dapat menjadi sejauh bintang-bintang yang saat ini menjadi pajangan yang dipilih malam. Aku ingat betul saat aku menjadi nara hubung antar Ray dan Nia. Betapa setiap hari aku ke sana-ke mari hanya untuk mengabarkan keadaan mereka. Terkadang saat Nia ngambek, aku yang disuruh Ray membujuk Nia. Saat Ray hendak ulang tahun, aku yang diajak Nia ke departement store mencari kaos yang cocok untuk Ray. Betapa dunia ini mudah dibolak-balik.

Aku mengenal Nia dari Ray. Semenjak kuamati Ray menyukai gadis berkulit putih bermata sipit, aku mulai menggodanya. Awalnya dia tidak mengakui perasaan yang mulai mekar itu, namun setelah aku berkata jika Nia adalah teman TK-ku, dia mulai tertarik mendengar ceritaku tentang Nia kecil. Semenjak saat itu, Ray sering bertanya padaku tentang kebiasaan Nia, hal yang Nia suka, bahkan sampai menanyakan alamat rumahnya. 'Mana kutahu, tanya saja langsung' jawabku menggodanya. Alhasil, dengan keberanian sebesar cicak yang ikut menjadi saksi, Ray bertanya langsung alamat rumahnya. "Eh, rumahmu di mana sih? Cika lupa masa". Aku hanya cengengesan di balik pintu kelas, memperhatikan dari jauh. "Eh, memangnya Cika pernah tahu ya? Dia kan belum pernah main ke rumahku." Ray jelas kebingungan saat itu, mungkin dia kira aku hanya becanda soal ketidaktahuanku perihal rumahnya, "Astaga, dasar Cika sinting."

Jelas saja aku kabur setelah itu, membawa tawa yang sudah tak dapat kutahan lagi. Malamnya, Ray menelepon,

"Sinting kamu Cik"
"Kurang ajar kamu ngatain anak orang sinting, elu tuh," aku cekikin di balik telepon
"Kukira kamu tahu rumahnya. Kenapa nggak bilang?"
"Kan sudah kubilang nggak tahu hih"

Telepon terputus. Aku tebak dia marah padaku. Biarin, biar tahu rasa. Namun, jauh dibalik kenakalanku, entah mengapa aku merasa iba padanya. Rasanya aku ingin ikut mencari tahu alamat rumah Nia. 

Keesokan harinya, berbekal tekad ingin membantu teman, aku menyusuri alamat rumah yang kudapatkan dari buku tahunan TK Aba. 'Maaf dik, sepertinya adik salah rumah. Saya pemilik rumah ini, namun tak punya anak perempuan seperti yang sudah adik deskripsikan' hanya info itu yang kuperoleh. Ku raih telepon rumah, bimbang hendak mengabari Ray atau tidak, entah mengapa aku deg-degan saat itu. Kuputuskan untuk memberitahunya besok pagi-pagi di sekolah.

"Woy, Ray aku ada info nih"
"Apaan?" sial, dia tertarik
"Rumah Nia, sepertinya dia pindah"
"Maksut?"
"Kemarin aku mencari rumahnya, tapi pemiliknya beda, maaf ya"
"Ah, ya, aku boleh minta tolong satu hal? Aku punya rahasia"

Dia menceritakan kedekatannya dengan Nia, teman TK-ku. Aku hanya cengar-cengir setelah mendengar ceritanya. 'Tolong ya?' dia bersungguh-sungguh rupanya. Lagi-lagi, aku yang kena. "Bayar!" 

Berbekal kertas kusut di tangan, aku kembali ke rumah yang asing bagiku. "Kulo nuwun," aku mengetuk pintu rumah. Belum sampai 1 menit, pintu sudah dibuka lebar. "Cika, ada apa?" Akhirnya aku sampai di pelabuhan yang tepat. Setelah aku bercerita panjang lebar, aku pamit. Kepalaku sudah pusing saat itu, apalagi aku belum ganti seragam. 'Kamu yakin? Kukira Ray becanda. Tak kusangka,' hanya kata-kata itu yang terus terngiang di telingaku.

Alarmku bergetar, pukul 00.00. Pegawai kafe lain di sepanjang jalan Malioboro ini sudah sejak tadi meninggalkan lapaknya, beruntung kafe ini buka 24 jam. Tinggallah aku dan memori dalam kafe ini yang mengikat tubuhku erat.

Malam itu, masih sekitar pukul 8 malam. Aku yang sudah hampir terlelap, terpaksa bangun karena getar handphone yang ada di sebelah kepalaku. Ray menelepon, tidak biasanya dia menelpon malam-malam begini. Biasanya, dia hanya menelpon kalau ada masalah yang sungguh-sungguh membebaninya. Betul saja, kalau bukan Ray teman sebangkuku yang meminta, aku tak akan segan menolak permintaannya untuk datang ke kafe ini. Di sana ia betul-betul bukan seperti Ray yang kukenal. Memandang kosong ke arah jendela, mengenakan headset, memain-mainkan cangkir kopi yang ada di depannya. Aneh.

Aku tak lantas masuk, menghampirinya, lalu menyapanya seperti yang layak orang lain lakukan. Aku hanya bisa menghentikan langkah, lalu memandang wajah kusutnya dari bawah. 'Ah Ray, aku tahu masalahmu bahkan sebelum kau bercerita.' Sebagai teman terdekatnya, aku merasa iba dengannya. Tak ingin dia mengetahui jika aku menitikkan air mata, aku diam saja di depan kafe ini. Aku tak tahu apakah aku sanggup melanjutkan langkah ke dalam. Lebih tepatnya, aku tak tahu apa yang terjadi denganku.

Malam itu kuhabiskan demi menenangkan seseorang yang patah hati karena kekasihnya. Cinta pertama selalu berakhir sendu, untung saja aku tak pernah merasakan cinta yang seperti itu. Dia sudah seperti orang gila, terkadang nangis, lantas tertawa sendiri, lalu memandang kosong. Seperti itu terus tingkahnya saat sedang kunasihati. Air mukanya sangat keruh, sekeruh kopiku saat mengenang memori itu.

"I can't deal with this anymore," kataku. Setelah fajar menyingsing, aku akan meninggalkan kota ini. Aku akan melupakan semua kenangan di kota ini. Aku tak tahan lagi.

Setelah pertemuan di kafe malam itu, keadaan semakin keruh. Ray tak lagi bersemangat dalam menerima pelajaran, ia bahkan tak pernah menyunggingkan senyum. Aku getir melihatnya. Aku tak kuasa melihat temanku yang satu ini bersedih di atas semua kebahagiaan yang sedang kurasa. Lantas kumarahi dia, kumaki, betapa bodohnya dia sebagai lelaki. Rasanya seperti wanita hanya ada satu di dunia ini.

Esoknya lagi, kami tak berbicara hingga seminggu. Datang, menerima pelajaran, pulang. Seperti itu terus, hingga suatu pagi di hari Jumat, tiba-tiba Ray berkata "Thanks Cik, gue sadar sekarang. Gue salah," sorenya dia mentraktir aku di kafe itu. Kami bahagia. Di bawah atap kafe itu, kami menghabiskan waktu berdua, mengalahkan lagu sendu yang sengaja diputar untuk menghanyutkan suasana kafe dengan teriakan tawa riuh kami. Merayakan kemenangannya atas hatinya yang lugu.
Pulangnya, ia mengantarkanku sampai rumah. Lantas aku mengenalkannya pada ibuku yang saat itu membukakan pintu. Ibuku hanya tersenyum melihat anak perempuannya bahagia dengan lelaki yang membawanya pulang. Aku geli dengannya, tak paham mengapa secepat itu Ray dapat melupakan perasaannya. Ada apa?

Tepat sebulan setelah ia putus dengan Nia, Ray bersikap konyol padaku. Tak jarang kulihat ia senyum-senyum sendiri, lalu salah tingkah, semacam itu. Usiaku saat itu 17 tahun, tepat 10 bulan setelah ulang tahunku, Ray menyatakan hal yang sangat tak terduga. Bukan ucapan cinta yang lazim dikatakan anak muda zaman sekarang, bukan juga komitmen yang membuatku tak dapat melangkah jauh. Perkataan yang muncul dari lubuk hati, perasaan yang tulus-lah yang membuatku mati kutu.

"Cik, aku tak tahu apa yang kurasakan, tapi, aku rasa aku kagum padamu. Kamu tidak seperti wanita pada umumnya yang cengeng, kamu bahkan tak bersifat seperti wanita-wanita lain yang sering kauceritakan padaku. Kamu berani memarahiku saat kamu merasa aku salah, kamu membantuku bangkit saat aku tak yakin dapat melanjutkan hidup. Kau tahu, Nia adalah cinta pertamaku. Namun, kukira aku tidak salah jika harus jatuh cinta lagi. Aku tak tahu dengan siapa orang itu, namun aku merasa cocok dengan wanita sepertimu."

Aku berada di Stasiun Tugu saat ini. Handphoneku sudah ku non-aktifkan semenjak keluar dari kafe tadi pagi. Dengan berbekal tekad, aku akan meninggalkan Jogja dan kenangannya. Aku akan merantau ke Solo pagi ini, ke rumah Bang Isan. Dia adalah anak dari teman kantor ayahku yang sudah sangat kukenal. Sebelum masuk kereta, kusempatkan menengok Maliobro yang terlihat dari kejauhan, memutar kembali sepenggal kisah yang ingin kutinggalkan.

"Kamu yakin dengan keputusan ini, Cik?"

"Seratus persen yakin, buk"

"Kuliahmu?"

"..."

"Mau kau hidupi dengan apa anakmu? Atas dasar apa tiba-tiba membuat keputusan mendadak begini. Jangan buat ibukmu ini bingung lah nak, apa kau tak kasihan pada ibukmu ini?"

"Aku sudah berpikir semalaman buk, aku yakin dengan keputusanku. Lagipula, Ray sudah mapan dari hasil usahanya membuka kafe. Bukankah sudah semua buk?"

"Sudah semua apanya, kalian ini ndak cocok. Umur kalian selsih berapa? Satu tahun pun tak sampai. Kuliahmu mau kamu apakan nak? Nikah itu ndak gampang. Sama halnya dengan membuat komitmen. Butuh waktu yang sangat lama hingga kau bisa memutuskan. Tak semudah ini, hanya semalam pula."

"Ibuk tahu Cika nggak mau pacaran buk, Cika sudah tidak sanggup menahan rasa yang bergelanyut di hati. Cika butuh ridha ibuk, sebagai ibuk terbaik Cika"

"Ah sudahlah nak. Coba fikirkan lagi dengan akal sehat. Kau ini sudah di racun Ray"


Maafkan Cika, buk.


A. Paramudita (Yogyakarta, 2016)

No comments:

Post a Comment