Sunday 17 July 2016

A Child Called 'It'



“It is important for people to know that no matter what lies in their past, they can overcome the dark side and press on the a brighter world.” ― Dave PelzerA Child Called "It"

Saat ini, teknologi yang dikembangkan di era globalisasi tak terelakkan. Berbagai macam produk modern diperbarui. Namun di balik itu semua, di sudut hingar bingar kehidupan kota, ada jeritan anak yang tak terdengar telinga kita. Jeritan lirik anak yang merindukan kasih sayang, kepedulian orang tua terhadap dirinya. Terkadang saking padatnya pekerjaan orang tua, hingga melupakan kewajibannya untuk merealisasikan hak-hak anak. Tanpa disadari orang tua, terkadang anak menjadi korban pelampiasan kekesalan orang tua atas pekerjaannya. Tak dapat dipungkiri, sudah banyak terjadi kasus pelanggaran hak-hak anak di seluruh dunia. 

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pelecehan anak dan penganiayaan anak adalah "segala bentuk perlakuan fisik dan / atau emosional, pelecehan seksual, penelantaran atau perlakuan lalai atau komersial atau lainnya eksploitasi, mengakibatkan kerugian aktual atau potensial untuk kesehatan anak , kelangsungan hidup, pengembangan atau martabat dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan."  

Pelecehan anak yang terjadi saat ini banyak macamnya. Kekerasan fisik, pelecehan seksual, pelecehan psikologis, dan masih banyak lagi. Masih terngingat di telinga saya beberapa kasus pelecehan seksual yang tersorot publik baru-baru ini. Namun yang tersoroti itu barulah sebagian kecil dari lubang besar yang berhasil membuat hati teriris. 

A Child Called 'It' merupakan sebuah buku karangan Dave Pelzer yang diterbitkan PT. Gramedia Pustaka Utama. Buku ini membuat saya memahami betul arti kehidupan. Buku inilah yang membuat saya tergugah, membuat saya ingin terus menggali masalah-masalah yang kerap menghantui sanubari anak-anak.

Tentu, Dave Pelzer merupakan orang yang sangat tegar, sangat berambisi dalam bertahan hidup. Walaupun saya baru membaca buku pertamanya, namun itu sudah sangat membuat hati saya bergetar, saya seperti bisa mengetahui apa yang dirasakan Dave Pelzer kecil saat itu.

Buku ini sangat menarik untuk dibaca, terlebih karena ini adalah sebuah true story, kita bisa benar-benar mengerti apa yang dirasakan Dave Pelzer kecil saat itu, karena adegan yang ditulis bukanlah rekayasa.

Dan saat saya membawa buku itu ke rumah, orang yang pertama kali saya perlihatkan dan saya ajak untuk membacanya adalah ibu saya, mengapa? Karena saya ingin orang tua saya mengetahui perasaan anak kecil korban child abuse (penyiksaan anak), anak yang masih polos, suci, tetapi sudah harus menahan sakit di perutnya akibat sebuah tusukan pisau, yang harus menahan lapar karena tidak diberi makan, yang lagi-lagi harus menahan sakit perut karena mau tidak mau  memakan makanan dari sisa-sisa sereal kakak-kakaknya yang sudah di buang di tempat sampah karena tidak diberi makan, harus memakai seragam sekolah untuk pakaian sehari-harinya walaupun seragam itu sudah sobek dan kotor, yang harus menahan bau karena disuruh menempelkan wajah di popok kotor adiknya, mau tak mau harus mencuri makanan di kantin sekolahnya, diledek teman-temannya.

Masih banyak peristiwa yang dialami Dave Pelzer. Ketakutan, rasa kekalahan, kesendirian, kesakitan, adalah rasa-rasa yang dirasakan oleh Dave Pelzer semasa itu, sampai ia diselamatkan, sampai ia terbebas dari ketakutannya. 

(A. Paramudita, 2013)








No comments:

Post a Comment